Pekanbaru, Republikmata.co.id – Aksi demonstrasi yang mengatasnamakan Generasi Muda Patriotik (GMP) di depan Kejaksaan Negeri (Kejari) Pekanbaru, Senin (4/8/2025), terungkap menyimpan fakta mencengangkan. Demo yang mengangkat isu dugaan penyalahgunaan tunjangan transportasi oleh mantan Anggota DPRD Kota Pekanbaru, Ida Yulita Susanti, diduga kuat bukan murni aspirasi, melainkan digerakkan oleh massa bayaran.
Pantauan di lapangan, jumlah peserta aksi terbilang minim, hanya sekitar kurang lebih 13 orang. Dengan membawa spanduk bertuliskan desakan agar Kejari Pekanbaru memproses hukum terkait tunjangan transportasi eks anggota dewan tersebut.
Namun yang mengejutkan, saat awak media mencoba menggali lebih dalam, sebagian besar peserta aksi tidak mengetahui secara jelas apa yang mereka tuntut. Bahkan, ada yang secara jujur mengakui hanya ikut karena diajak dan diberi uang transportasi.
“Saya tidak tahu bang. Saya cuma ikut saja. Saya dibayar per kepala,” ungkap salah satu peserta aksi yang enggan disebutkan namanya ketika diwawancarai media ini di lokasi.
Lebih lanjut, ketika ditanya berapa uang yang diterima, pria tersebut mengaku sebesar Rp50 ribu per orang.
“Lima puluh ribu bang,” katanya blak-blakan.
Pengakuan ini semakin menguatkan dugaan bahwa aksi tersebut tidak lahir dari kesadaran murni, melainkan sudah terorganisir dengan pola bayaran. Saat dimintai keterangan lebih jauh terkait siapa yang memberikan uang tersebut, ia mengaku tidak mengetahui.
“Kalau soal siapa yang bayar, saya nggak tahu bang. Saya cuma terima uang saja,” ujarnya menutup percakapan.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada informasi pasti siapa pihak yang berada di balik pendanaan aksi ini. Namun, pola mobilisasi massa bayaran bukanlah hal baru dalam setiap isu politik dan hukum yang mengemuka.
Biasanya, oknum tertentu memanfaatkan oknum kelompok masyarakat dengan imbalan uang untuk mendramatisasi suatu isu di ruang publik, untuk menjatuhkan orang lain.
Praktik ini jelas merusak esensi demokrasi dan kebebasan berpendapat. Sebab, aspirasi yang seharusnya disuarakan atas dasar kepedulian, berubah menjadi sekadar komoditas yang diperjualbelikan.
Untuk menjaga keseimbangan pemberitaan sesuai dengan kode etik dan UU Pers agar tidak ada pihak yang dirugikan, media ini mengonfirmasi kepada Korlap aksi, Riski, terkait dugaan pembayaran kepada massa demonstrasi sebesar Rp50 ribu per orang melalui pesan WhatsApp pada Senin (4/8/25). Namun hingga kini, ia enggan memberikan penjelasan.
“Kalau itu tanya ke Kejari, Bang,” jawab Riski singkat.
Saat ditanya kembali apa kaitannya Kejari dengan dugaan pembayaran kepada peserta aksi, Riski tidak memberikan jawaban. Padahal, pengakuan soal uang tersebut datang dari peserta aksi, dan sebagai koordinator lapangan, Riski bertanggung jawab atas jalannya demonstrasi. Hingga berita ini diterbitkan, pertanyaan redaksi belum dijawab oleh Riski.