Republikmata.co.id, Aceh – Firdaus Noezula mungkin gagal merebut hati rakyat saat pemilu, tapi rupanya masih berhasil merebut kursi empuk di PT PEMA. Tak perlu prestasi, tak perlu pengalaman. Cukup satu hal: rekomendasi politik. Dan itu saja sudah cukup mengantar mantan caleg Partai Demokrat ini duduk sebagai Komisaris Independen di salah satu perusahaan strategis Aceh.
Apa yang membuat publik geleng-geleng? Bukan karena nama besarnya—karena memang tak ada. Tapi karena pengangkatannya mencerminkan satu hal menyedihkan: betapa perusahaan milik daerah masih menjadi tempat parkir elit politik yang kehabisan panggung.
Tak ada rekam jejak Firdaus di dunia usaha. Tak ada pengalaman di sektor energi, tambang, atau tata kelola SDA. Bahkan di level kebijakan, kontribusinya nyaris tak terdengar. Tapi toh, ia duduk di sana, mengatur arah perusahaan yang seharusnya jadi tulang punggung ekonomi Aceh. Semua tahu, tanpa jalur politik, kursi itu tak akan pernah tersedia baginya.
Pertanyaannya sederhana: sampai kapan perusahaan milik rakyat ini dikelola dengan cara-cara yang menghina akal sehat? Komisaris seharusnya dipilih karena kapabilitas—bukan karena kasihan. Seharusnya mereka adalah orang-orang yang paham bisnis, regulasi, dan manajemen korporasi. Bukan politisi yang gagal, lalu diselamatkan dengan posisi strategis demi menjaga ‘jasa politik’.
Jika PT PEMA ingin dipercaya publik dan investor, langkah pertama adalah menghentikan praktek transaksional semacam ini. Perusahaan daerah bukan alat barter kekuasaan. Ia harus dikelola secara profesional, bukan dengan semangat “bagi-bagi jabatan” pasca pemilu.
Firdaus boleh saja nyaman di kursi komisaris hari ini. Tapi publik Aceh pantas bertanya: berapa harga yang harus dibayar rakyat demi satu kursi titipan?